Assalam'alaikum wr wb..
lama tangan ini tak ku gunakan untuk merangkai kata2 yang menggambarkan suasana hatiku..
eeuumm..berhubung ini hari kamis, dan berarti tak ada jadwal untuk makan siang maka terlintas untuk mencari bacaan yang memberi hikmah..
. . . . .
Maka bertemulah aq dengan kisah ini...kisah Ka'ab bin Malik dalam kisah perang tabuk...
silakan membaca jika memang blum pernah membacanya,semoga bisa mendapat hikmah dari bacaa ini...
Bismillah...
==========================
“Aku sama sekali tidak pernah gagal mengikuti semua peperangan bersama Rasululah saw, kecuali dalam perang Tabuk.sebab aku tidak ikut serta dalam perang Tabuk itu adalah karena kelalaian diriku terhadap perhiasan dunia..
ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya.
Demi Allah,
aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan unta,
akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memikinya.
Sungguh, tidak pernah Rasullah SAW merencanakan suatu peperangan
melainkan beliau merahasiakan hal itu,
kecuali pada perang Tabuk ini.
Peperangan ini, Rasulullah SAW lakukan
dalam kondisi panas terik matahari gurun yang sangat menyengat,
menempuh perjalanan nan teramat jauh,
serta menghadapi lawan yang benar-benar besar dan tangguh.
Jadi, rencananya jelas sekali bagi kaum muslimin
untuk mempersiapkan diri masing-masing
menuju suatu perjalanan dan peperangan yang jelas pula.
Rasulullah saw. mempersiapkan pasukan yang akan berangkat.
Aku pun mempersiapkan diri untuk ikut serta,
tiba-tiba timbul pikiran ingin membatalkannya,
lalu aku berkata dalam hati,
“Aku bisa melakukannya kalau aku mau!”
Akhirnya,
aku terbawa oleh pikiranku yang ragu-ragu,
hingga para pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah.
Aku lihat pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah,
maka timbul pikiranku untuk mengejar mereka,
alang-alang mereka belum jauh.
Namun,
aku tidak melakukannya..
kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku.
Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut
Akan tetapi,
sungguh aku merasakan penderitaan batin sejak Rasulullah saw. meninggalkan Madinah.
Bila aku keluar rumah,
maka di jalan-jalan aku merasakan keterasingan diri
sebab aku tidak melihat
orang kecuali orang-orang yang diragukan keislamannya.
Merekalah orang-orang yang sudah mendapatkan rukhshah atau izinAllah Ta’ala
untuk uzur
atau kalau tidak demikian
maka mereka adalah orang-orang munafik.
Padahal, aku merasakan bahwa diriku tidak termasuk keduanya.
Konon, Rasulullah saw. tidak menyebut-nyebut namaku sampai ke Tabuk.
Setibanya di sana,
ketika beliau sedang duduk-duduk bersama sahabatnya,
beliau bertanya,
“Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?”
Seorang dari Bani Salamah menjawab,
“Ya Rasulullah, ia ujub pada keadaan dan dirinya!”
Mu’az bin Jabal menyangkal,
“Buruk benar ucapanmu itu!
Demi Allah, ya Rasulullah,
aku tidak pernah mengerti melainkan kebaikannya saja!”
Rasulullah saw. hanya terdiam saja.
Beberapa waktu telah berlalu,
aku mendengar Rasulllah saw. kembali dari kancah jihad Tabuk.
Ada dalam pikiranku berbagai desakan dan dorongan
untuk membawa alasan palsu ke hadapan Rasulullah saw.,
bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya?
Aku minta pandapat dari beberapa orang keluargaku
yang terkenal berpikiran baik.
Akan tetapi, ketika aku mendengar Nabi saw., segera tiba di Madinah,
lenyaplah semua pikiran jahat itu.
Aku merasa yakin
bahwa aku tidak akan pernah menyelamatkan diri
dengan kebatilan itu sama sekali.
Maka, aku bertekad bulat akan menemui Rasulullah saw.
dan mengatakan yang sebenarnya.
Pagi-pagi,
Rasulullah saw. memasuki kota Madinah.
Sudah menjadi kebiasaan,
kalau beliau kembali dari suatu perjalanan,
pertama beliau akan masuk ke masjid dan solat dua rakaat.
Demikian pula usai dari Tabuk..
selesai solat
beliau kemudian duduk melayani tamu-tamunya.
Lantas, datanganlah orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk
dengan membawa alasan masing-masing
diselangi sumpah palsu untuk menguatkan alasan mereka.
Jumlah mereka kira-kira delapan puluhan orang.
Rasulullah saw. menerima alasan lahir mereka
dan mereka pun memperbaharui baiat setia mereka.
Beliau memohonkan ampunan bagi mereka
dan menyerahkan soal batinnya kepada Allah.
Tibalah giliranku,
aku datang mengucapkan salam kepada beliau.
Beliau membalas dengan senyuman pula,
namun jelas terlihat bahwa senyuman beliau memendam rasa marah.
Beliau kemudian berkata,
“Kemarilah!”
Aku pun menghampirinya,
lalu duduk di hadapannya.
Beliau tiba-tiba bertanya,
“Wahai Ka’ab, mengapa dirimu tidak ikut?
Bukankah kau telah menyatakan baiat kesetianmu?”
Aku menjawab,
“Ya Rasulullah!
Demi Allah..
Kalau di hadapan penduduk bumi yang lain,
tentulah aku akan berhasil keluar dari amarah mereka
dengan berbagai alasan dan dalil lainnya.
Namun, demi Allah.
Aku sadar kalau aku berbicara bohong kepadamu
dan engkau pun menerima alasan kebohonganku,
aku khawatir Allah akan membenciku.
Kalau kini aku bicara jujur,
kemudian karena itu engkau marah kepadaku,
sesungguhnya aku berharap Allah akan mengampuni kealpaanku".
"Ya Rasululah saw.,
demi Allah, aku tidak punya uzur.
Demi Allah, keadaan ekonomiku aku tidak pernah stabil
dibanding tatkala aku tidak mengikutimu itu!”
Rasulullah berkata,
“Kalau begitu, tidak salah lagi.
Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan keputusan-Nya kepadamu!”
Aku pun pergi diikuti oleh orang-orang Bani Salamah.
Mereka berkata kepada,
“Demi Allah. Kami belum pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini.
Kau tampaknya tidak mampu membuat-buat alasan seperti yang lain,
padahal dosamu itu sudah terhapus oleh permohonan ampun Rasulullah!”
Mereka terus saja menyalahkan tindakanku itu
hingga ingin rasanya aku kembali menghadap Rasullah saw.
untuk membawa alasan palsu,
sebagaimana orang lain melakukannya.
Aku bertanya kapada mereka,
“Apakah ada orang yang senasib denganku?”
Mereka menjawab,
“Ya! Ada dua orang yang jawabannya sama dengan apa yang kau perbuat.
Sekarang mereka berdua juga mendapat keputusan
yang sama dari Rasulullah sebagaimana keadaanmu sekarang!”
Aku bertanya lagi,
“Siapakah mereka itu?”
Mereka menjawab,
“Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri
dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi.”
Mereka menyebutkan dua nama orang soleh
yang pernah ikut dalam perang Badar dan yang patut diteladani.
Begitu mereka menyebutkan dua nama orang itu,
aku bergegas pergi menemui mereka.
Tak lama setelah itu,
aku mendengar Rasululah melarang kaum muslimin
berbicara dengan kami bertiga,
di antara delapan puluhan orang yang tidak ikut dalam perang tersebut.
Kami memencilkan diri dari masyarakat umum.
Sikap mereka sudah lain kapada kami
sehingga rasanya aku hidup di suatu negeri yang lain
dari negeri yang aku kenal sebelumnya.
Kedua rakanku itu berdiam di rumah masing-masing
menangisi nasib dirinya,
tetapi aku yang paling kuat dan tabah di antara mereka.
Aku keluar untuk solat jamaah
dan kaluar masuk pasar
meski tidak seorang pun yang mau berbicara denganku
atau menanggapi bicaraku.
Aku juga datang ke majilis Rasullah saw.
sesudah beliau solat.
Aku mengucapkan salam kepada beliau,
sambil hati kecilku bertanya-tanya
memperhatikan bibir beliau,
“Apakah beliau menggerakkan bibirnya menjawab salamku atau tidak?”
Aku juga solat dekat sekali dengan beliau.
Aku mencuri pandang melihat pandangan beliau.
Kalau aku bangkit mau solat,
ia melihat kepadaku.
Namun, apabila aku melihat kepadanya,
ia palingkan mukanya cepat-cepat.
Sikap dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali.
Pada suatu hari,
aku mengetuk pintu pagar Abu Qaradah,
saudara misanku dan ia adalah saudara yang paling aku cintai.
Aku mengucapkan salam kepadanya,
tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku.
Aku menegurya,
“Abu Qatadah! Aku mohon dengan nama Allah,
apakah kau tau bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?”
Ia diam.
Aku mengulangi permohonanku itu,
namun ia tetap terdiam.
Aku mengulangi permohonanku itu,
namun ia tetap terdiam.
Aku mengulanginya sekali lagi,
tapi ia hanya menjawab,
“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!”
Air mataku tidak tertahan lagi.
Kemudian aku kembali dengan penuh rasa kecewa.
Pada suatu hari,
aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinah.
Tiba-tiba datanglah orang awam dari negeri Syam.
Orang itu biasanya mengantarkan dagangan ke kota Madinah.
Ia bertanya,
“Siapakah yang mau menolongku menemui Ka’ab bin Malik?”
Orang-orang di pasar itu menunjuk kepdaku,
lalu orang itu datang kepadaku..
dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku
dari raja Ghassan.
Setelah kubuka,
isinya sebagai berikut,
“… Selain dari itu, bahwa sahabatmu sudah bersikap dingin terhadapmu.
Allah tidak menjadikan kau hidup terhina dan sirna.
Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan,
kami akan menghiburmu!”
Hatiku berkata ketika membaca surat itu,
“Ini juga salah satu ujian!”
Lalu aku memasukkan surat itu ke dalam tungku dan membakarnya.
Pada hari yang ke-40 dari pengasinganku
di kampung halaman sendiri,
ketika aku menanti-nantikan turunnya wahyu
tiba-tiba datanglah kepadaku seorang pesuruh Rasulullah saw.
menyampaikan pesannya,
“Rasulullah memerintahkan kepadamu supaya kamu menjauhi istrimu!”
Aku semakin sedih,
namun aku juga semakin pasrah kepada Allah,
hingga terlontar pertanyaanku kepadanya,
“Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang akan kulakukan?”
Ia menjelaskan,
“Tidak. Akan tetapi,
kamu harus menjauhkan dirimu darinya dan menjauhkannya dari dirimu!”
Kiranya Rasulullah juga sudah mengirimkan pesannya
kepada dua sahabatku yang bernasib sama.
Aku langsung memerintahkan kepada istriku,
“Pergilah kau kepada keluargamu
sampai Allah memutuskan hukumnya kepada kita!”
Istri Hilal bin Umaiyah
datang menghadap Rasulullah saw. lalu ia bertanya,
“Ya Rasulullah,
sebenarnya Hilal bin Umaiyah seorang yang sudah sangat tua,
lagi pula ia tidak memiliki seorang pembantu.
Apakah ada keberatan kalau aku melayaninya di rumah?”
Rasulullah saw. menjawab,
“Tidak! Akan tetapi ia tidak boleh mendekatimu!”
Istri Hilal menjelaskan,
“Ya Rasulullah!
Ia sudah tidak bersemangat pada yang itu lagi.
Demi Allah,
yang dilakukannya hanya menangisi dosanya sejak saat itu hingga kini!”
Ada seorang ahli keluargaku
yang juga mengusulkan,
“Cuba minta izin kepada Rasulullah
supaya isterimu melayai dirimu
seperti halnya isteri Hilal bin Umayah!”
Aku menjawab tegas,
“Tidak Aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah saw.
tentang isteriku.
Apa katanya kelak, sedangkan aku masih muda?”
Akhirnya,
hari-hari selanjutnya aku hidup seorang diri di rumah.
Lengkaplah bilangan malam
sejak orang-orang dicegah berbicara denganku
menjadi 50 hari 50 malam.
Pada waktu sedang solat subuh
di suatu pagi dari malam yang ke-50..
ketika aku sedang duduk berdzkir
meminta ampun dan mohon
dilepaskan dari kesempitan hidup
dalam alam yang luas ini..
Tiba-tiba aku mendengar teriakan orang-orang
memanggil namaku.
‘Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!
Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!”
Mendengar berita itu
aku langsung sujud memanjatkan syukur kepada Allah.
Aku yakin pembebasan hukuman telah dikeluarkan.
Aku yakin, Allah telah menurunkan ampunan-Nya.
Rasulullah menyampaikan berita itu
kepada sahabat-sahabatnya
seusai solat subuh bahwa
Allah telah mengampuni aku dan dua orang shahabatku.
Berlomba-lombalah orang mendatangi kami,
hendak menceritakan berita germbira itu.
Ada yang datang dengan berkuda,
ada pula yang datang dengan berlari dari jauh mendahului yang berkuda.
Sesudah keduanya sampai di hadapanku,
aku berikan kepada dua orang itu kedua pakaian yang aku miliki.
Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki pakaian kecuali yang dua itu.
Aku mencari pinjaman pakaian untuk menghadap Rasullah.
Ternyata aku telah disambut banyak orang
dan dengan serta merta mereka mengucapkan selamat kepadaku.
Demi Allah, tidak seorang pun dari muhajirin
yang berdiri dan memberi ucapan selamat
selain Thal’ah.
Sikap Thalhah itu tak mungkin aku lupakan.
Sesudah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah,
mukanya tampak cerah dan gembira,
katanya kemudian,
“Bergembiralah kau atas hari ini!
Inilah hari yang paling baik bagimu sejak kau dilahirkan oleh ibumu!”
“Apakah dari Allah ataukah dari engkau ya Rasulullah?”
tanyaku sabar.
“Bukan dariku! Pengampunan itu datangnya dari Allah!”
jawab Rasul saw.
Demi Allah, aku belum pernah merasakan
besarnya nikmat Allah kepadaku
sesudah Dia memberi hidayah Islam kepadaku,
lebih besar bagi jiwaku daripada sikap jujurku kepada Rasulullah saw.”
Ka’ab lalu membaca ayat pengampunannya itu dengan penuh haru dan syahdu, sementara air matanya berderai membasahi kedua pipinya.
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka,
hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka,
padahal bumi itu luas,
dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka,
serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah
melainkan kepada-Nya saja.
Kemudian, Allah menerima taubat mereka
agar mereka tetap dalam taubatnya.
Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat
lagi Maha Penyayang.”
(At-Taubah:118)
ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya.
Demi Allah,
aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan unta,
akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memikinya.
Sungguh, tidak pernah Rasullah SAW merencanakan suatu peperangan
melainkan beliau merahasiakan hal itu,
kecuali pada perang Tabuk ini.
Peperangan ini, Rasulullah SAW lakukan
dalam kondisi panas terik matahari gurun yang sangat menyengat,
menempuh perjalanan nan teramat jauh,
serta menghadapi lawan yang benar-benar besar dan tangguh.
Jadi, rencananya jelas sekali bagi kaum muslimin
untuk mempersiapkan diri masing-masing
menuju suatu perjalanan dan peperangan yang jelas pula.
Rasulullah saw. mempersiapkan pasukan yang akan berangkat.
Aku pun mempersiapkan diri untuk ikut serta,
tiba-tiba timbul pikiran ingin membatalkannya,
lalu aku berkata dalam hati,
“Aku bisa melakukannya kalau aku mau!”
Akhirnya,
aku terbawa oleh pikiranku yang ragu-ragu,
hingga para pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah.
Aku lihat pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah,
maka timbul pikiranku untuk mengejar mereka,
alang-alang mereka belum jauh.
Namun,
aku tidak melakukannya..
kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku.
Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut
Akan tetapi,
sungguh aku merasakan penderitaan batin sejak Rasulullah saw. meninggalkan Madinah.
Bila aku keluar rumah,
maka di jalan-jalan aku merasakan keterasingan diri
sebab aku tidak melihat
orang kecuali orang-orang yang diragukan keislamannya.
Merekalah orang-orang yang sudah mendapatkan rukhshah atau izinAllah Ta’ala
untuk uzur
atau kalau tidak demikian
maka mereka adalah orang-orang munafik.
Padahal, aku merasakan bahwa diriku tidak termasuk keduanya.
Konon, Rasulullah saw. tidak menyebut-nyebut namaku sampai ke Tabuk.
Setibanya di sana,
ketika beliau sedang duduk-duduk bersama sahabatnya,
beliau bertanya,
“Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?”
Seorang dari Bani Salamah menjawab,
“Ya Rasulullah, ia ujub pada keadaan dan dirinya!”
Mu’az bin Jabal menyangkal,
“Buruk benar ucapanmu itu!
Demi Allah, ya Rasulullah,
aku tidak pernah mengerti melainkan kebaikannya saja!”
Rasulullah saw. hanya terdiam saja.
Beberapa waktu telah berlalu,
aku mendengar Rasulllah saw. kembali dari kancah jihad Tabuk.
Ada dalam pikiranku berbagai desakan dan dorongan
untuk membawa alasan palsu ke hadapan Rasulullah saw.,
bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya?
Aku minta pandapat dari beberapa orang keluargaku
yang terkenal berpikiran baik.
Akan tetapi, ketika aku mendengar Nabi saw., segera tiba di Madinah,
lenyaplah semua pikiran jahat itu.
Aku merasa yakin
bahwa aku tidak akan pernah menyelamatkan diri
dengan kebatilan itu sama sekali.
Maka, aku bertekad bulat akan menemui Rasulullah saw.
dan mengatakan yang sebenarnya.
Pagi-pagi,
Rasulullah saw. memasuki kota Madinah.
Sudah menjadi kebiasaan,
kalau beliau kembali dari suatu perjalanan,
pertama beliau akan masuk ke masjid dan solat dua rakaat.
Demikian pula usai dari Tabuk..
selesai solat
beliau kemudian duduk melayani tamu-tamunya.
Lantas, datanganlah orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk
dengan membawa alasan masing-masing
diselangi sumpah palsu untuk menguatkan alasan mereka.
Jumlah mereka kira-kira delapan puluhan orang.
Rasulullah saw. menerima alasan lahir mereka
dan mereka pun memperbaharui baiat setia mereka.
Beliau memohonkan ampunan bagi mereka
dan menyerahkan soal batinnya kepada Allah.
Tibalah giliranku,
aku datang mengucapkan salam kepada beliau.
Beliau membalas dengan senyuman pula,
namun jelas terlihat bahwa senyuman beliau memendam rasa marah.
Beliau kemudian berkata,
“Kemarilah!”
Aku pun menghampirinya,
lalu duduk di hadapannya.
Beliau tiba-tiba bertanya,
“Wahai Ka’ab, mengapa dirimu tidak ikut?
Bukankah kau telah menyatakan baiat kesetianmu?”
Aku menjawab,
“Ya Rasulullah!
Demi Allah..
Kalau di hadapan penduduk bumi yang lain,
tentulah aku akan berhasil keluar dari amarah mereka
dengan berbagai alasan dan dalil lainnya.
Namun, demi Allah.
Aku sadar kalau aku berbicara bohong kepadamu
dan engkau pun menerima alasan kebohonganku,
aku khawatir Allah akan membenciku.
Kalau kini aku bicara jujur,
kemudian karena itu engkau marah kepadaku,
sesungguhnya aku berharap Allah akan mengampuni kealpaanku".
"Ya Rasululah saw.,
demi Allah, aku tidak punya uzur.
Demi Allah, keadaan ekonomiku aku tidak pernah stabil
dibanding tatkala aku tidak mengikutimu itu!”
Rasulullah berkata,
“Kalau begitu, tidak salah lagi.
Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan keputusan-Nya kepadamu!”
Aku pun pergi diikuti oleh orang-orang Bani Salamah.
Mereka berkata kepada,
“Demi Allah. Kami belum pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini.
Kau tampaknya tidak mampu membuat-buat alasan seperti yang lain,
padahal dosamu itu sudah terhapus oleh permohonan ampun Rasulullah!”
Mereka terus saja menyalahkan tindakanku itu
hingga ingin rasanya aku kembali menghadap Rasullah saw.
untuk membawa alasan palsu,
sebagaimana orang lain melakukannya.
Aku bertanya kapada mereka,
“Apakah ada orang yang senasib denganku?”
Mereka menjawab,
“Ya! Ada dua orang yang jawabannya sama dengan apa yang kau perbuat.
Sekarang mereka berdua juga mendapat keputusan
yang sama dari Rasulullah sebagaimana keadaanmu sekarang!”
Aku bertanya lagi,
“Siapakah mereka itu?”
Mereka menjawab,
“Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri
dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi.”
Mereka menyebutkan dua nama orang soleh
yang pernah ikut dalam perang Badar dan yang patut diteladani.
Begitu mereka menyebutkan dua nama orang itu,
aku bergegas pergi menemui mereka.
Tak lama setelah itu,
aku mendengar Rasululah melarang kaum muslimin
berbicara dengan kami bertiga,
di antara delapan puluhan orang yang tidak ikut dalam perang tersebut.
Kami memencilkan diri dari masyarakat umum.
Sikap mereka sudah lain kapada kami
sehingga rasanya aku hidup di suatu negeri yang lain
dari negeri yang aku kenal sebelumnya.
Kedua rakanku itu berdiam di rumah masing-masing
menangisi nasib dirinya,
tetapi aku yang paling kuat dan tabah di antara mereka.
Aku keluar untuk solat jamaah
dan kaluar masuk pasar
meski tidak seorang pun yang mau berbicara denganku
atau menanggapi bicaraku.
Aku juga datang ke majilis Rasullah saw.
sesudah beliau solat.
Aku mengucapkan salam kepada beliau,
sambil hati kecilku bertanya-tanya
memperhatikan bibir beliau,
“Apakah beliau menggerakkan bibirnya menjawab salamku atau tidak?”
Aku juga solat dekat sekali dengan beliau.
Aku mencuri pandang melihat pandangan beliau.
Kalau aku bangkit mau solat,
ia melihat kepadaku.
Namun, apabila aku melihat kepadanya,
ia palingkan mukanya cepat-cepat.
Sikap dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali.
Pada suatu hari,
aku mengetuk pintu pagar Abu Qaradah,
saudara misanku dan ia adalah saudara yang paling aku cintai.
Aku mengucapkan salam kepadanya,
tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku.
Aku menegurya,
“Abu Qatadah! Aku mohon dengan nama Allah,
apakah kau tau bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?”
Ia diam.
Aku mengulangi permohonanku itu,
namun ia tetap terdiam.
Aku mengulangi permohonanku itu,
namun ia tetap terdiam.
Aku mengulanginya sekali lagi,
tapi ia hanya menjawab,
“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!”
Air mataku tidak tertahan lagi.
Kemudian aku kembali dengan penuh rasa kecewa.
Pada suatu hari,
aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinah.
Tiba-tiba datanglah orang awam dari negeri Syam.
Orang itu biasanya mengantarkan dagangan ke kota Madinah.
Ia bertanya,
“Siapakah yang mau menolongku menemui Ka’ab bin Malik?”
Orang-orang di pasar itu menunjuk kepdaku,
lalu orang itu datang kepadaku..
dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku
dari raja Ghassan.
Setelah kubuka,
isinya sebagai berikut,
“… Selain dari itu, bahwa sahabatmu sudah bersikap dingin terhadapmu.
Allah tidak menjadikan kau hidup terhina dan sirna.
Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan,
kami akan menghiburmu!”
Hatiku berkata ketika membaca surat itu,
“Ini juga salah satu ujian!”
Lalu aku memasukkan surat itu ke dalam tungku dan membakarnya.
Pada hari yang ke-40 dari pengasinganku
di kampung halaman sendiri,
ketika aku menanti-nantikan turunnya wahyu
tiba-tiba datanglah kepadaku seorang pesuruh Rasulullah saw.
menyampaikan pesannya,
“Rasulullah memerintahkan kepadamu supaya kamu menjauhi istrimu!”
Aku semakin sedih,
namun aku juga semakin pasrah kepada Allah,
hingga terlontar pertanyaanku kepadanya,
“Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang akan kulakukan?”
Ia menjelaskan,
“Tidak. Akan tetapi,
kamu harus menjauhkan dirimu darinya dan menjauhkannya dari dirimu!”
Kiranya Rasulullah juga sudah mengirimkan pesannya
kepada dua sahabatku yang bernasib sama.
Aku langsung memerintahkan kepada istriku,
“Pergilah kau kepada keluargamu
sampai Allah memutuskan hukumnya kepada kita!”
Istri Hilal bin Umaiyah
datang menghadap Rasulullah saw. lalu ia bertanya,
“Ya Rasulullah,
sebenarnya Hilal bin Umaiyah seorang yang sudah sangat tua,
lagi pula ia tidak memiliki seorang pembantu.
Apakah ada keberatan kalau aku melayaninya di rumah?”
Rasulullah saw. menjawab,
“Tidak! Akan tetapi ia tidak boleh mendekatimu!”
Istri Hilal menjelaskan,
“Ya Rasulullah!
Ia sudah tidak bersemangat pada yang itu lagi.
Demi Allah,
yang dilakukannya hanya menangisi dosanya sejak saat itu hingga kini!”
Ada seorang ahli keluargaku
yang juga mengusulkan,
“Cuba minta izin kepada Rasulullah
supaya isterimu melayai dirimu
seperti halnya isteri Hilal bin Umayah!”
Aku menjawab tegas,
“Tidak Aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah saw.
tentang isteriku.
Apa katanya kelak, sedangkan aku masih muda?”
Akhirnya,
hari-hari selanjutnya aku hidup seorang diri di rumah.
Lengkaplah bilangan malam
sejak orang-orang dicegah berbicara denganku
menjadi 50 hari 50 malam.
Pada waktu sedang solat subuh
di suatu pagi dari malam yang ke-50..
ketika aku sedang duduk berdzkir
meminta ampun dan mohon
dilepaskan dari kesempitan hidup
dalam alam yang luas ini..
Tiba-tiba aku mendengar teriakan orang-orang
memanggil namaku.
‘Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!
Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!”
Mendengar berita itu
aku langsung sujud memanjatkan syukur kepada Allah.
Aku yakin pembebasan hukuman telah dikeluarkan.
Aku yakin, Allah telah menurunkan ampunan-Nya.
Rasulullah menyampaikan berita itu
kepada sahabat-sahabatnya
seusai solat subuh bahwa
Allah telah mengampuni aku dan dua orang shahabatku.
Berlomba-lombalah orang mendatangi kami,
hendak menceritakan berita germbira itu.
Ada yang datang dengan berkuda,
ada pula yang datang dengan berlari dari jauh mendahului yang berkuda.
Sesudah keduanya sampai di hadapanku,
aku berikan kepada dua orang itu kedua pakaian yang aku miliki.
Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki pakaian kecuali yang dua itu.
Aku mencari pinjaman pakaian untuk menghadap Rasullah.
Ternyata aku telah disambut banyak orang
dan dengan serta merta mereka mengucapkan selamat kepadaku.
Demi Allah, tidak seorang pun dari muhajirin
yang berdiri dan memberi ucapan selamat
selain Thal’ah.
Sikap Thalhah itu tak mungkin aku lupakan.
Sesudah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah,
mukanya tampak cerah dan gembira,
katanya kemudian,
“Bergembiralah kau atas hari ini!
Inilah hari yang paling baik bagimu sejak kau dilahirkan oleh ibumu!”
“Apakah dari Allah ataukah dari engkau ya Rasulullah?”
tanyaku sabar.
“Bukan dariku! Pengampunan itu datangnya dari Allah!”
jawab Rasul saw.
Demi Allah, aku belum pernah merasakan
besarnya nikmat Allah kepadaku
sesudah Dia memberi hidayah Islam kepadaku,
lebih besar bagi jiwaku daripada sikap jujurku kepada Rasulullah saw.”
Ka’ab lalu membaca ayat pengampunannya itu dengan penuh haru dan syahdu, sementara air matanya berderai membasahi kedua pipinya.
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka,
hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka,
padahal bumi itu luas,
dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka,
serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah
melainkan kepada-Nya saja.
Kemudian, Allah menerima taubat mereka
agar mereka tetap dalam taubatnya.
Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat
lagi Maha Penyayang.”
(At-Taubah:118)
**************************
Begitulah kisah Ka'ab bin Malik..
sejenak menghapus air mata yg jatuh setelah membaca kisah ini, terlintas pertanyaan di hati...
lantas bagaimana dg aku...???
selalu kupanjatkan do'a agar diberi kesempatan utk bertemu Rasulullah kelak..
Jika Allah mengijinkan hal itu terjadi..
lantas apa yang akan kusampaikan padanya..?
Apa saja yg telah aku lakukan utk agama ini..??
Dimanakah aku ketika seruan untuk berjuang di jalanNYA mnyapa..???
Berapa kali aku ingkar atas ajakan itu..??
"Pantaskah aq berada dlm barisan Rasulullah???"
jika hukuman yang dterima Ka'ab bin Malik atas keingkarnya dlm perang tabuk seberat itu...hanya sekali ia alpa..diantara perang2nya bersama Rasulullah..
Lantas apa yg akan aq terima kelak atas kealpaanq.. (aqpun tak tau berapa jumlahnya, Astaghfirullah)
Berapa lama aq akan di hukum..??
Hukuman apa yang akan kuterima...??
Jika hukuman atas Ka'ab sudah begitu terasa amat sngt berat bagiq...
Pastilah hukumanq jauh lebih berat dari itu...mampukah aq????
Ya Allah...
itu barulah bayanganku ketika bertemu dg Rasulullah..
Bagaimana dengan pertemuanku dgMU...
Di bagian mana dalam kehidupanq yang merupakan perjuanganku utkMU..
Di bagian mana dalam kehidupanq yang menunjukkan aku mecintaiMU...
Kalaupun ada, itu hanya karena kemurahanMU..
Maka sebelum saat itu tiba..
Saat ketika permohonan ampunq tak lagi KAU dengar..
Aku mohon ampun atas segala dosa...
Yang sesungguhnya sangat terasa berat dilengan kiriku..
ampuni aku duhai YA GHOFAR..
No comments:
Post a Comment